Wartawan Dimeja-hijaukan, Dewan Pers Mutlak Dibubarkan
Sangkawi.com, Jakarta – Ketua Umum PPWI Nasional, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA kembali bersuara keras atas tindakan kriminalisasi terhadap wartawan yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
Kali ini, Wilson merasa sangat prihatin atas perlakuan sewenang-wenang aparat kepolisian di Polda Sumatera Barat yang menyeret Ismail Novendra, pimpinan redaksi Koran Jejak News yang terbit di Padang, Sumatera Barat, ke meja hijau. Laporan terkini yang diterima lulusan PPRA-48 Lemhannas Republik Indonesia itu dari korban kriminalisasi Polda Sumbar, bahwa yang bersangkutan akan segera menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Padang.
“Rabu besok (18 April 2018 – red) saya sidang pertama Pak Ketum,” demikian pesan WhatsApp yang diterima Wilson dari rekannya Ismail Novendra, anggota PPWI di Padang, Jumat, 13 April 2018.
Sebagaimana diberitakan di media ini beberapa waktu lalu bahwa Novendra, seorang wartawan di Sumatera Barat dikriminalisasi oleh Polda Sumatera Barat atas tuduhan pencemaran nama baik dan penghinaan terkait berita yang dimuatnya di koran Jejak News pada 28 Agustus 2017 silam. Dalam menyikapi kasus yang menimpanya, Novendra telah berupaya menyurati berbagai pihak di Jakarta, seperti ke Kapolri, DPR RI, Kompolnas, dan bahkan kepada Presiden Republik Indonesia.
Beberapa pihak juga telah memberikan reaksi keras atas kasus kriminalisasi pekerja pers oleh Polda Sumbar. Kriminalisasi wartawan Novendra ini diduga kuat atas arahan dari oknum Kapolda Sumbar, karena pemberitaan yang menjadi delik pencemaran nama baik itu terkait langsung dengan oknum Kapolda, Irjen Pol Fakhrizal, tersebut. “Untuk itu kami dengan tegas meminta Kapolri segera mencopot Inspektur Jenderal Polisi Fakhrizal dari jabatan sebagai Kapolda Sumbar,” tandas Ketua Umum DPP Serikat Pers Republik Indonesia Heintje Mandagie dalam siaran persnya, Kamis (15/3/2018).
Pernyataan selengkapnya dapat dibaca di sini: http://www.ppwinews.com/2018/03/spri-minta-kapolri-copot-kapolda-sumbar.html
“Bagi saya, sebagai sahabat pewarta yang dilapori masalah ini, hal itu membuktikan bahwa di tubuh Polri masih bercokol oknum-oknum petinggi selevel Kapolda yang belum selesai dengan dirinya sendiri. Masih belum dewasa dalam menyikapi persoalan warga yang berimplikasi langsung maupun tidak langsung terhadap dirinya,” tulis Wilson Lalengke yang dimuat di media ini beberapa waktu lalu.
Baca selengkapnya di sini: http://www.ppwinews.com/2018/03/miris-kebijakan-kapolri-dikencingi.html
Selain menyayangkan sikap dan perilaku mempermainkan hukum “seenak-perutnya” oleh para oknum aparat mafia yang isi perutnya dibiayai dari uang rakyat di Polda Sumbar itu, Wilson Lalengke menilai bahwa peran Dewan Pers yang telah melakukan verifikasi dan memberikan lisensi “terdaftar di Dewan Pers” kepada Koran Jejak News pimpinan Ismail Novendra, tidak bermanfaat sama sekali alias tidak berpengaruh apapun terhadap proses penegakan hukum terkait kasus ini. “Dari dokumen yang disampaikan kepada saya, Koran Jejak News itu sudah terdaftar di Dewan Pers, sudah melalui proses verifikasi, screening, dan segala macam hantu belau sesuai ‘undang-undang’ yang dikeluarkan Dewan Pers. Tapi hasilnya? Tetap juga polisi tidak bergeming, UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers diabaikan polisi dan memaksakan diri menggunakan pasal ‘abu-abu’ 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik,” jelas Wilson yang telah beberapa kali menyerukan pembubaran lembaga Dewan Pers tersebut.
Benar bahwa Dewan Pers telah berkirim surat dengan nomor 555/DP/K/X/2017, yang menyatakan bahwa kasus pemberitaan oleh Ismail Novendra di Koran Jejak News itu sebagai “sengeketa pemberitaan pers” yang oleh karenanya harus “diselesaikan melalui mekanisme penggunaan hak jawab dan hak koreksi” sesuai UU Nomor 40 tahun 1999. Namun faktanya surat Dewan Pers itu hanya dijadikan sebagai tissue pembersih pantat oknum polisi di sana. “Tidak berpengaruh apa-apa, tidak memberikan penguatan atau pembelaan, apalagi perlindungan hukum apapun terhadap wartawan yang telah terverifikasi dan terdaftar di Dewan Pers itu,” imbuh Wilson yang sudah memberikan pelatihan jurnalistik bagi ribuan anggota TNI, Polri, guru, mahasiswa dan masyarakat umum ini.
Atas dasar kenyataan tersebut, dirinya berkesimpulan bahwa Dewan Pers sudah waktunya dibubarkan untuk kemudian dibentuk lembaga sejenis yang sesuai kebutuhan kekinian, yang benar-benar berfungsi sebagai penjaga dan pembela kebebasan bersuara, berekspresi dan berkarya-jurnalistik di negeri ini, benteng demorasi Indonesia, lembaga yang menjaga konsitusi. “Dewan Pers itu tidak berguna bagi wartawan dan rakyat Indonesia, hanya menghabiskan uang negara tanpa hasil apapun. Kebijakan Dewan Pers banyak yang melanggar UU, institusi ini sudah malfungsi, oknum pengurusnya bertindak melampaui kewenangannya, bahkan aturan-aturan yang mereka keluarkan telah masuk kategori perbuatan melawan hukum alias kriminal,” tegas alumni dari tiga universitas terbaik di Eropa, Birmingham University, Utrecht University, dan Linkoping University, itu.
Dewan Pers, lanjut Wilson, dalam beberapa tahun terakhir telah bermutasi menjadi lembaga pemberangus kebebasan bersuara, menjadi semacam lembaga sensor pers, tukang bredel media massa walaupun tidak secara langsung, menjadi lembaga yang bisa diperalat oleh oknum pejabat atau pihak tertentu untuk membungkam suara rakyat. “Kebebasan berpendapat seperti tertuang dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (3), dan hak azasi manusia rakyat Indonesia di bidang informasi, komunikasi, dan publikasi sebagaimana tertuang dalam pasal 28F, terkikis habis oleh ulah oknum pengurus Dewan Pers melalui berbagai kebijakannya selama ini,” kata Wilson dengan mimik prihatin akan kondisi kebebasan bermedia-massa Indonesia yang dikebiri belakangan ini.
Oleh karena itu, lanjutnya, tidak ada pilihan lain yang paling baik dan rasional, ‘lembaga sensor pers’ itu harus dilikuidasi. “Toh, jika Anda para wartawan yang medianya sudah terverifikasi, terdaftar dan diakui Dewan Pers, ketika tersandung masalah karena tulisan dan pemberitaan, lembaga itu tidak mampu membantu Anda sama sekali. Bagi saya, satu-satunya jalan terbaik adalah bubarkan Dewan Pers, bentuk lembaga sejenis yang bisa menjadi benteng demokrasi di negeri ini!” pungkas Wilson, alumni Program Persahabatan Indonesia-Jepang Abad-21 itu menegaskan sikapnya. (HWL/Red) ... ...
Kali ini, Wilson merasa sangat prihatin atas perlakuan sewenang-wenang aparat kepolisian di Polda Sumatera Barat yang menyeret Ismail Novendra, pimpinan redaksi Koran Jejak News yang terbit di Padang, Sumatera Barat, ke meja hijau. Laporan terkini yang diterima lulusan PPRA-48 Lemhannas Republik Indonesia itu dari korban kriminalisasi Polda Sumbar, bahwa yang bersangkutan akan segera menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Padang.
“Rabu besok (18 April 2018 – red) saya sidang pertama Pak Ketum,” demikian pesan WhatsApp yang diterima Wilson dari rekannya Ismail Novendra, anggota PPWI di Padang, Jumat, 13 April 2018.
Sebagaimana diberitakan di media ini beberapa waktu lalu bahwa Novendra, seorang wartawan di Sumatera Barat dikriminalisasi oleh Polda Sumatera Barat atas tuduhan pencemaran nama baik dan penghinaan terkait berita yang dimuatnya di koran Jejak News pada 28 Agustus 2017 silam. Dalam menyikapi kasus yang menimpanya, Novendra telah berupaya menyurati berbagai pihak di Jakarta, seperti ke Kapolri, DPR RI, Kompolnas, dan bahkan kepada Presiden Republik Indonesia.
Beberapa pihak juga telah memberikan reaksi keras atas kasus kriminalisasi pekerja pers oleh Polda Sumbar. Kriminalisasi wartawan Novendra ini diduga kuat atas arahan dari oknum Kapolda Sumbar, karena pemberitaan yang menjadi delik pencemaran nama baik itu terkait langsung dengan oknum Kapolda, Irjen Pol Fakhrizal, tersebut. “Untuk itu kami dengan tegas meminta Kapolri segera mencopot Inspektur Jenderal Polisi Fakhrizal dari jabatan sebagai Kapolda Sumbar,” tandas Ketua Umum DPP Serikat Pers Republik Indonesia Heintje Mandagie dalam siaran persnya, Kamis (15/3/2018).
Pernyataan selengkapnya dapat dibaca di sini: http://www.ppwinews.com/2018/03/spri-minta-kapolri-copot-kapolda-sumbar.html
“Bagi saya, sebagai sahabat pewarta yang dilapori masalah ini, hal itu membuktikan bahwa di tubuh Polri masih bercokol oknum-oknum petinggi selevel Kapolda yang belum selesai dengan dirinya sendiri. Masih belum dewasa dalam menyikapi persoalan warga yang berimplikasi langsung maupun tidak langsung terhadap dirinya,” tulis Wilson Lalengke yang dimuat di media ini beberapa waktu lalu.
Baca selengkapnya di sini: http://www.ppwinews.com/2018/03/miris-kebijakan-kapolri-dikencingi.html
Selain menyayangkan sikap dan perilaku mempermainkan hukum “seenak-perutnya” oleh para oknum aparat mafia yang isi perutnya dibiayai dari uang rakyat di Polda Sumbar itu, Wilson Lalengke menilai bahwa peran Dewan Pers yang telah melakukan verifikasi dan memberikan lisensi “terdaftar di Dewan Pers” kepada Koran Jejak News pimpinan Ismail Novendra, tidak bermanfaat sama sekali alias tidak berpengaruh apapun terhadap proses penegakan hukum terkait kasus ini. “Dari dokumen yang disampaikan kepada saya, Koran Jejak News itu sudah terdaftar di Dewan Pers, sudah melalui proses verifikasi, screening, dan segala macam hantu belau sesuai ‘undang-undang’ yang dikeluarkan Dewan Pers. Tapi hasilnya? Tetap juga polisi tidak bergeming, UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers diabaikan polisi dan memaksakan diri menggunakan pasal ‘abu-abu’ 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik,” jelas Wilson yang telah beberapa kali menyerukan pembubaran lembaga Dewan Pers tersebut.
Benar bahwa Dewan Pers telah berkirim surat dengan nomor 555/DP/K/X/2017, yang menyatakan bahwa kasus pemberitaan oleh Ismail Novendra di Koran Jejak News itu sebagai “sengeketa pemberitaan pers” yang oleh karenanya harus “diselesaikan melalui mekanisme penggunaan hak jawab dan hak koreksi” sesuai UU Nomor 40 tahun 1999. Namun faktanya surat Dewan Pers itu hanya dijadikan sebagai tissue pembersih pantat oknum polisi di sana. “Tidak berpengaruh apa-apa, tidak memberikan penguatan atau pembelaan, apalagi perlindungan hukum apapun terhadap wartawan yang telah terverifikasi dan terdaftar di Dewan Pers itu,” imbuh Wilson yang sudah memberikan pelatihan jurnalistik bagi ribuan anggota TNI, Polri, guru, mahasiswa dan masyarakat umum ini.
Atas dasar kenyataan tersebut, dirinya berkesimpulan bahwa Dewan Pers sudah waktunya dibubarkan untuk kemudian dibentuk lembaga sejenis yang sesuai kebutuhan kekinian, yang benar-benar berfungsi sebagai penjaga dan pembela kebebasan bersuara, berekspresi dan berkarya-jurnalistik di negeri ini, benteng demorasi Indonesia, lembaga yang menjaga konsitusi. “Dewan Pers itu tidak berguna bagi wartawan dan rakyat Indonesia, hanya menghabiskan uang negara tanpa hasil apapun. Kebijakan Dewan Pers banyak yang melanggar UU, institusi ini sudah malfungsi, oknum pengurusnya bertindak melampaui kewenangannya, bahkan aturan-aturan yang mereka keluarkan telah masuk kategori perbuatan melawan hukum alias kriminal,” tegas alumni dari tiga universitas terbaik di Eropa, Birmingham University, Utrecht University, dan Linkoping University, itu.
Dewan Pers, lanjut Wilson, dalam beberapa tahun terakhir telah bermutasi menjadi lembaga pemberangus kebebasan bersuara, menjadi semacam lembaga sensor pers, tukang bredel media massa walaupun tidak secara langsung, menjadi lembaga yang bisa diperalat oleh oknum pejabat atau pihak tertentu untuk membungkam suara rakyat. “Kebebasan berpendapat seperti tertuang dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (3), dan hak azasi manusia rakyat Indonesia di bidang informasi, komunikasi, dan publikasi sebagaimana tertuang dalam pasal 28F, terkikis habis oleh ulah oknum pengurus Dewan Pers melalui berbagai kebijakannya selama ini,” kata Wilson dengan mimik prihatin akan kondisi kebebasan bermedia-massa Indonesia yang dikebiri belakangan ini.
Oleh karena itu, lanjutnya, tidak ada pilihan lain yang paling baik dan rasional, ‘lembaga sensor pers’ itu harus dilikuidasi. “Toh, jika Anda para wartawan yang medianya sudah terverifikasi, terdaftar dan diakui Dewan Pers, ketika tersandung masalah karena tulisan dan pemberitaan, lembaga itu tidak mampu membantu Anda sama sekali. Bagi saya, satu-satunya jalan terbaik adalah bubarkan Dewan Pers, bentuk lembaga sejenis yang bisa menjadi benteng demokrasi di negeri ini!” pungkas Wilson, alumni Program Persahabatan Indonesia-Jepang Abad-21 itu menegaskan sikapnya. (HWL/Red) ... ...
Wartawan Dimeja-hijaukan, Dewan Pers Mutlak Dibubarkan
Reviewed by Timexpose
on
April 14, 2018
Rating: