CANDI DADI : Mahavedi Yang Memahkotai Puncak Tertinggi Walikukun
Sangkawi.com - CANDI DADI, Mahavedi Yang Memahkotai Puncak Tertinggi Walikukun.
Oleh : Dwi Cahyono
A. KAWASAN ARKEOLOGIS BUKIT WALIKUKUN
Sub-area Selatan Tulungagung seakan membentangkan perbukitan panjang, yang membentuk garis poros alamiah barat-tmur. Diawali dengan (1) Gunung Budheg (Cikrak) pada posisi ujung barat. Jejak-jejak arkelogisnya berupa kompleks Goa Pasir di lereng utara serta Watu Joli pada puncaknya, yang masuk dalam wilayah Desa Tanggung. (2) Perbukitan Walikukun, dengan jejak-jejak arkeologis antara lain berupa (a) Goa Selomangleng dan altar monolith di bagian atasnya pada lereng sisi barat, yang masuk wilayah Desa Sanggrahan, (b) Beberapa situs di punggung bukit, berturur-turut dari barat ke timur terdapat reruntuhan bangunan (warga setempat menyebut "candi") seperti Candi Butho, Urung, Gemali, Bubrah, dan sebuah Yoni dengan cerat berpahatkan naga – Lingga telah hilang, yang disebut oleh warga dengan "Candi Naga", (c) Candi Dadi ditempatkan dipuncak bukit yang tertinggi; (d) Pada punggung bukit di sebelah timur Candi Dadi terdapat reruntuhan, yang memperlihatkan tempat penambangan batu dan pembuatan/perbengkelan balok-balok batu, (e) Pada bukit Tumpak Lesung terdapat deretan tangga batu, altar serta tinggalan lain yang masih tertutup ilalang dan semak belukar, dan diantaranya oleh warga disebut mengenai adanya bongkah batu berlobang menyerupai "lesung batu". (f) Pada lembah sebelah timurnya terdapat Sumber Omben dan bata-bata kuno serta fragmen gerabah; (3) Bukit Sodo, padamana terdapat situs Goa Pasir, dengan berbagai tinggalan arkeologis eks karsyan (ka-rsi-an) di Desa Junjung.
Selain itu terdapat kompleks pertapaan, yang oleh warga disebut "Goa Banyu Urip" di lereng bawah hingga lembah sisi utara pada Desa Wajak Kidul. Situs lain yang tak terlampau jauh jarak darinya antara lain Candi Gayatri (Boyolangu), Candi Sanggrahan (Cungkup) beserta watu cencang gajah (tiang batu pengikat tali untuk gajah) dan umpak-umpak besar, Candi Mirigambar serta Candi Tuban (dimusnahkan tahun 1967-an), Candii Ampel (Joho), Situs Bethak, situs Islam Demuk, dsb. Dalam bentang perbukitan inilah (Walikukun), Candi Dadi pada posisi relatif tengah. Ditempatkan pada puncak bukit yang tertinggi. Ada beberapa jalur yang bisa ditempuh menuju ke Candi Dadi, yaitu: (1) dari arah barat, yaitu dari Situs Selomangleng di Desa Sanggrahan, (2) dari arah utara, baik lewat situs Goa Banyu Urip Desa Wajak Kidul melintasi lokasi Candi Butho, Urung, Gemali dan Bubrah, maupun lewat Dusun Kedung Njalin di Desa Junjung, serta (3) dari arah timur, yaitu dari situs Goa Pasir di Dusun Pasir Desa Junjung melewati Sumber Omben, Tumpak Lesung dan areal perbengkelan balok batu.
Jika menilik bebatuan pada lereng utara, barat maupun timur, yang didominasi oleh batuan jenis breksi vulkanik, tergambar bahwa Bukit Walikukun adalah eks gunung berapi purba yang bersatus sebagai "gunung api yang telah mati". Lobang kepundannya terlihat pada posisi puncak bukit tertinggi, padamana terdapat Candi Dadi. Aliran lava utama tergambar melintasi celah terjal (curah) di sisi utara Candi Dadi, yang menperlihatksn adanya batuan breksi vulkanik, yang konon terbentuk dari magma beku luar. Dengan demikian, candi ini dibangun pada masa Majapahit tepat di eks kaldera purba yang kala itu telah mengering. Dengan mencermati banyaknya dan sebaran jejak arkeologis yang berhasil ditemukan, tergambar bahwa perbukitan Walikukun adalah kawasan arkeologis yang luas. Tinggalan yang ada berupa bangunan peribadatan dan sisa permukiman semi-permanen para pemangku bangunan suci bersangkutan. Sayang sekali, sejauh ini eksporasi jejak-jejak arkeologis di kawasan ini masih belum optimal dilakukan, baik lantaran arealnya yang luas maupun medan gunung yang sukar dan ditumbuhi oleh ilalang tebal serra semak belukar. Boleh jadi, jumlah tinggalan arkeologis yang ada jauh lebih banyak daripada yang telah berhasil diketemukan. Masing-masing puncak bukit dan lereng serta lembah-lembah antaranya berpotensi memiliki jejak budaya masa lampau.
B. IDENTIFIKASI BENTUK DAN FUNGSI CANDI DADI
Secara arsitektural Candi Dadi bisa dibilang relatif utuh dan karenanya memiliki komponen lengkap, yang berwujud sebuah teras tunggal terdiri atas batur (soubasement) dan kaki (basement) yang berbangun persegi enam belas -- bentuk bangun dasarnya bujur sangkar (14 x 14 m), dengan tinggi sekitar 5-6 m. Bangunan teras tersebut terdiri atas perbingkaian bawah dan atas mengapit batang. Kenampakkan atas memperlihatkan beberapa bangun tersusun dari bawah ke atas sbb. : (a) bangun terluar berbentuk dua lapis segi enam belas, disusul (b) bangun segi delapan, dan pada titik sentum terdapat (c) bangun bundar (silindris). Tidak terdapat tanda-tanda bahwa bangunan teras tunggal ini memiliki satu atau lebih tangga. Bangun segi empat sama sisi (bujur sangkar), segi enam belas dan segi delapan beserta bangun bundar di titik sentrum perlihatkan formula kosmologis, yaitu penjuru mata angin dan axis (titik sentrum) sbb. : 4 + 1, (2 x 2 x 4) + 1 dan (2 x 40 + 1. Formula demikian acapkali tampil pada tata bangun mandala. Selain itu juga memiliki makna simbolis terkait dengan konsepsi religis dalam agama Hindu ataupun Buddha. Secara religis, di dalam agama Hindu, bangun persegi delapan (heksagonal) dapat dihubungkan konsep "lokapala" atau di-namai pula "hastadikpalaka", yakni delapan dewa penjaga penjuru mata angin. Formula 8 + 1 direlasikan dengan konsep "nawasanga". Adapun formula 4 + 1 boleh juga dipertalikan dengan sistem "tatagata" dalam Mahayana Buddhisme terkait dengan keletakan para patheon (dyanibuddha, dyanibodhisattwa maupun manusibuddha) pada penjuru mata angin dan titik sentrum.
Pendapat lain menyatakan bahwa bangunan ini tidak lengkap atau hanya sebagian dari seluruhnya. Jika lengkap maka membentuk stupa. Berarti terdapat beberapa komponen diatas teras yang kini telah tiada, yaitu: (a) kubah (anda), (b) yasti, dan (c) payung bersusun (catra). Tangga bisa jadi memang tak ada, sebagaimana pada Stupa Sumberawan. Menurut pendapat ini, Candi Dadi dilukiskan sebagai stupa tunggal berukuran besar di puncak tertinggi pada perbukitan Walikukun. Identifikasi Candi Dadi sebagai stupa memiliki beberapa kelemahan, yaitu tidak/belum diketemukan adanya balok-balok batu lengkung pemyusun kubah (anda). Selain itu sukar dipahami adabya bagun kubah l, yasti dan catra diatas lobang silindris yang besar dan dalam. Jika bukan stupa, Candi Dadi diidentifikadikan sebagai apa?
Arkeolog Universitas Indonesia, yakni Agus Aris Munandar, pernah identifikasikan Candi Dadi dengan "vedi" yang berukuran amat besar (mahavedi). Vedi adalah tempat umtuk mempesembahkan sesajian (offering). Pendapat ini selaras dengan unsur nama dari bukit padamana candi ini berada, yaitu bukit Walikukun. Unsur nama "wali" dapat dipertukarkan menjadi bali" (konsonan W bertukar dengan B) Kata "bali" bersinonim arti dengan "banten", yang menunjuk pada sesajian yang dipesembahkan kepada dewata atau arwah nenek moyang (ancestors) yang diperdewa atau unsur kekuatan alam luar biasa (supernatural forces) yang juga diperdewa. Dengan demikian, nama bukit "Walikukun" bukan saja menggambarkan habitat tanaman keras yang bernama "Walikukun", namun sekaligus untuk mengabadikan kegiatan religis di tempat ini pada masa lalu yang ditandai oleh persembahan sesajian kepada dewata yang besemayam di puncak gunung Walikukun.
Persembahan korban ke dalam lobang silindris di bagian tengah Candi Dadi dalam fungsinya sebagai mahavedi mengingatkan kita kepada pelarungan sesajian ke dalam kaldera Bromo pada ritus tahunan Kasada dalam budaya sub-etnik Tengger. Kesan demikian kian menguat manakala mencermati bahwa Candi Dadi dibangun tepat di atas lobang kepundan (kaldera) dari Gunung Walikukun yang telah mengering. Lobang silindris itu secara simbolik representasikan l0bang kepundan dan kaldera, yang pada Ritus Kasada menjadi tempat untuk melarung sesajian (banten). Adapun maksud mempersembahkan sesajian ke dalam mahavedi di puncak Walikukun boleh jadi untuk meredam ugra (murka) dari eks vulkan purba ini agar tidak meletus kembali. Menurut konsepsi religis Hindu ataupun Buddhis, pesenayaman paracdewa berada di puncak Gunung Meru.
Dalam agama Hindu, raja dari sekalian dewa adalah Dewa Indra, sehingga istana (kadatwan) dewata.yang dipimpinmoleh Dewa Indra itu dinamai 'Kaindran (ka-Indra-an)" Dalam konsepsi ini, Candi Dadi yang berada di puncak tertinggi Walikukun diidentikkan dengan Kaindran. Pada tempat ini para dewata bersinggasana. Bangun persegi delapan yang mengelilingi bangun bundar di permukaan atas Candi Dadi secara simbolik menggambarkan delapan kelopak bunga teratai merah merekah (padma). Candi Dadi dengan demikian adalah pedestal, yang pada permukaan atasnya terdapat padmasana bagi kehadiran dewata yang dipunja di Candi Dadi. Puncak Gunung Walikukun beserta Candi Dadi yang memahkotainya dapat pula diibaratkan dengan swarga (nirwana). Perjalan jauh dan mendaki kearahnya ubarat perjalan suci (yatra) ke puncak Gunung Himalaya (Meru) untuk mencapai nirwana atau sorga (swargarohana), sebagaimana digambarkan dalam bagian (parwa) akhir Wiracatita Mahabarata yamg bertajuk "Swargarohana parwa". Degan meminjam ustilah ini, perjalan suci menuju ke Candi Dadi -- yang merupakan simbol swarga – dengan demikian tepat untuk diistilahi dengan "Swagarohanayatra".
C. KONSERVASI DAN FUNGSIONALISASI TINGGALAN BUDAYA DI BUKIT WALIKUKUN
Sebagai situs yang berada di.tempat terpencil, maka konservasi dan preservasi terha-dap Candi Dadi belum optimal. Kondisi yang lebih memprihatibkan menimpak situs-situs lain di sekitarnya, seperti Candi Bhuto, Urung, Gemali, Bubrah dan Naga maupun tinggalan arkeologis di Tumpak Lesung dan sekitar Sumber Omben serta di situs perbengkelan bakol-balok batu. Areal situs yang luas, berada di medan gunung yang tisldak mudah dijangkau dan terbatusnya jumpah jurupiara, menjadikan situs-situs tersebut kurang lestari. Rendahnya kon-servasi terhadap situs utama terjadi pada situs-situs yang telah tidak lagi difungsikan. Oleh karena itu, peningkatan pelestarian situs bisa dilakukan seiring dengan revitalisasi dan diver-sifikasi fungsi situs. Pada masa sekarang, Candi Dadi yang kendatipun berasal dari keemasan Masa Majapahit, namun terbuka kemunglinan untuk didayagunakan bagi beragam fungsi, an-tara lain fungsi rekreatif, edukatif dan religis.
Dalam fungsi religis, Candi Dadi fan situs-situs lain di sekitarnya dapat didayagunakan bagi tujuan peziarahan (pilgryme). Wisata ziarah dan ritus di kawasan religis purba di Walikukun tidak hanya sebatas dilakukan oleh umat Hindu, namun terbuka pula untuk umat Buddha. Jejak religis sekitar Candi Dadi ada yang berlatar religi Hindu sebagaimana terbukti oleh adanya Yoni di situs Candi Naga, namun juga ada indikator Buddhis yang terbukti oleh temuan fragmen arca Dyanibuddha. Sementara pada sejumlah situs, seperti Goa Tritis, Banyu Urip dan Pasir, jejak historis-arkeologis yang ada lebih mengarah ke Agama Rsi. Demikianlah, pada masa lalu kawasan perbukitan Walikukun dan sekitarnya menjadi ajang religis dari beberapa agama sekaligus, yakni Hindu-Saiwa, Mahayana Buddhisme dan Agama Rsi. Nuansa kebhinekaan tergambar dan mengakar di sini. Untuk kepentingan keki-nian dan mendatang, tinggalan budaya masa lampau beserta paleo-ekologis di sekitarnya bisa dijadikan sebagai obyek dan destinasi wisata budaya, wisata religi, sekaligus wisata edukasi. Pemfungsiannya pada satu sisi diharapkan dibarengi dengan upaya pelestarian pada sisi lain.
Semoga tulisan ringkas ini memberikan faedah kepada khalayak. Salam budaya bhumiputra, "Nuswantara-jayati". Nuwun ..
BACA JUGA : Sejarah - sejarah Menarik Lainnya
Oleh : Dwi Cahyono
A. KAWASAN ARKEOLOGIS BUKIT WALIKUKUN
Sub-area Selatan Tulungagung seakan membentangkan perbukitan panjang, yang membentuk garis poros alamiah barat-tmur. Diawali dengan (1) Gunung Budheg (Cikrak) pada posisi ujung barat. Jejak-jejak arkelogisnya berupa kompleks Goa Pasir di lereng utara serta Watu Joli pada puncaknya, yang masuk dalam wilayah Desa Tanggung. (2) Perbukitan Walikukun, dengan jejak-jejak arkeologis antara lain berupa (a) Goa Selomangleng dan altar monolith di bagian atasnya pada lereng sisi barat, yang masuk wilayah Desa Sanggrahan, (b) Beberapa situs di punggung bukit, berturur-turut dari barat ke timur terdapat reruntuhan bangunan (warga setempat menyebut "candi") seperti Candi Butho, Urung, Gemali, Bubrah, dan sebuah Yoni dengan cerat berpahatkan naga – Lingga telah hilang, yang disebut oleh warga dengan "Candi Naga", (c) Candi Dadi ditempatkan dipuncak bukit yang tertinggi; (d) Pada punggung bukit di sebelah timur Candi Dadi terdapat reruntuhan, yang memperlihatkan tempat penambangan batu dan pembuatan/perbengkelan balok-balok batu, (e) Pada bukit Tumpak Lesung terdapat deretan tangga batu, altar serta tinggalan lain yang masih tertutup ilalang dan semak belukar, dan diantaranya oleh warga disebut mengenai adanya bongkah batu berlobang menyerupai "lesung batu". (f) Pada lembah sebelah timurnya terdapat Sumber Omben dan bata-bata kuno serta fragmen gerabah; (3) Bukit Sodo, padamana terdapat situs Goa Pasir, dengan berbagai tinggalan arkeologis eks karsyan (ka-rsi-an) di Desa Junjung.
Candi Dadi di kawasan perbukitan Walikukun (tampak atas)
Candi Naga di lereng bawah Candi Bubrah, temuan berupa Yoni betcerat pahatan naga bercerat pahatan naga
BACA JUGA : RELIEF CANDI JAJAGHU: Fakta Akar Historis Waditra Berdawi di Malangraya
Jika menilik bebatuan pada lereng utara, barat maupun timur, yang didominasi oleh batuan jenis breksi vulkanik, tergambar bahwa Bukit Walikukun adalah eks gunung berapi purba yang bersatus sebagai "gunung api yang telah mati". Lobang kepundannya terlihat pada posisi puncak bukit tertinggi, padamana terdapat Candi Dadi. Aliran lava utama tergambar melintasi celah terjal (curah) di sisi utara Candi Dadi, yang menperlihatksn adanya batuan breksi vulkanik, yang konon terbentuk dari magma beku luar. Dengan demikian, candi ini dibangun pada masa Majapahit tepat di eks kaldera purba yang kala itu telah mengering. Dengan mencermati banyaknya dan sebaran jejak arkeologis yang berhasil ditemukan, tergambar bahwa perbukitan Walikukun adalah kawasan arkeologis yang luas. Tinggalan yang ada berupa bangunan peribadatan dan sisa permukiman semi-permanen para pemangku bangunan suci bersangkutan. Sayang sekali, sejauh ini eksporasi jejak-jejak arkeologis di kawasan ini masih belum optimal dilakukan, baik lantaran arealnya yang luas maupun medan gunung yang sukar dan ditumbuhi oleh ilalang tebal serra semak belukar. Boleh jadi, jumlah tinggalan arkeologis yang ada jauh lebih banyak daripada yang telah berhasil diketemukan. Masing-masing puncak bukit dan lereng serta lembah-lembah antaranya berpotensi memiliki jejak budaya masa lampau.
B. IDENTIFIKASI BENTUK DAN FUNGSI CANDI DADI
Secara arsitektural Candi Dadi bisa dibilang relatif utuh dan karenanya memiliki komponen lengkap, yang berwujud sebuah teras tunggal terdiri atas batur (soubasement) dan kaki (basement) yang berbangun persegi enam belas -- bentuk bangun dasarnya bujur sangkar (14 x 14 m), dengan tinggi sekitar 5-6 m. Bangunan teras tersebut terdiri atas perbingkaian bawah dan atas mengapit batang. Kenampakkan atas memperlihatkan beberapa bangun tersusun dari bawah ke atas sbb. : (a) bangun terluar berbentuk dua lapis segi enam belas, disusul (b) bangun segi delapan, dan pada titik sentum terdapat (c) bangun bundar (silindris). Tidak terdapat tanda-tanda bahwa bangunan teras tunggal ini memiliki satu atau lebih tangga. Bangun segi empat sama sisi (bujur sangkar), segi enam belas dan segi delapan beserta bangun bundar di titik sentrum perlihatkan formula kosmologis, yaitu penjuru mata angin dan axis (titik sentrum) sbb. : 4 + 1, (2 x 2 x 4) + 1 dan (2 x 40 + 1. Formula demikian acapkali tampil pada tata bangun mandala. Selain itu juga memiliki makna simbolis terkait dengan konsepsi religis dalam agama Hindu ataupun Buddha. Secara religis, di dalam agama Hindu, bangun persegi delapan (heksagonal) dapat dihubungkan konsep "lokapala" atau di-namai pula "hastadikpalaka", yakni delapan dewa penjaga penjuru mata angin. Formula 8 + 1 direlasikan dengan konsep "nawasanga". Adapun formula 4 + 1 boleh juga dipertalikan dengan sistem "tatagata" dalam Mahayana Buddhisme terkait dengan keletakan para patheon (dyanibuddha, dyanibodhisattwa maupun manusibuddha) pada penjuru mata angin dan titik sentrum.
Candi Dadi, suatu teras tunggal yang terdiri atas batur dan kaki berbangun persegi enam belas
Candi Dadi (tampak sudut) dan reruntuhan balok-balok batu di sekitarnya
Candi Dadi (tampak sudut), teras terdiri atas perbingkaian bawah dan perbingkaian atas mengapit batang
Candi Jawi (tampak satu sisi) diantara vegetasi yang tumbuh di sekitarnya
Arkeolog Universitas Indonesia, yakni Agus Aris Munandar, pernah identifikasikan Candi Dadi dengan "vedi" yang berukuran amat besar (mahavedi). Vedi adalah tempat umtuk mempesembahkan sesajian (offering). Pendapat ini selaras dengan unsur nama dari bukit padamana candi ini berada, yaitu bukit Walikukun. Unsur nama "wali" dapat dipertukarkan menjadi bali" (konsonan W bertukar dengan B) Kata "bali" bersinonim arti dengan "banten", yang menunjuk pada sesajian yang dipesembahkan kepada dewata atau arwah nenek moyang (ancestors) yang diperdewa atau unsur kekuatan alam luar biasa (supernatural forces) yang juga diperdewa. Dengan demikian, nama bukit "Walikukun" bukan saja menggambarkan habitat tanaman keras yang bernama "Walikukun", namun sekaligus untuk mengabadikan kegiatan religis di tempat ini pada masa lalu yang ditandai oleh persembahan sesajian kepada dewata yang besemayam di puncak gunung Walikukun.
BACA JUGA : Asal - usul Kata Candi
BACA JUGA : Ragam Budaya Warisan Leluhur Yang Belum Tentu Anda Tahu
Persembahan korban ke dalam lobang silindris di bagian tengah Candi Dadi dalam fungsinya sebagai mahavedi mengingatkan kita kepada pelarungan sesajian ke dalam kaldera Bromo pada ritus tahunan Kasada dalam budaya sub-etnik Tengger. Kesan demikian kian menguat manakala mencermati bahwa Candi Dadi dibangun tepat di atas lobang kepundan (kaldera) dari Gunung Walikukun yang telah mengering. Lobang silindris itu secara simbolik representasikan l0bang kepundan dan kaldera, yang pada Ritus Kasada menjadi tempat untuk melarung sesajian (banten). Adapun maksud mempersembahkan sesajian ke dalam mahavedi di puncak Walikukun boleh jadi untuk meredam ugra (murka) dari eks vulkan purba ini agar tidak meletus kembali. Menurut konsepsi religis Hindu ataupun Buddhis, pesenayaman paracdewa berada di puncak Gunung Meru.
Lobang silindir pada titik sentrum Candi Dadi
Kedalaman lobang silindris Candi Dadi, tampak dasar lobang berbangun melingkar
Komponen arsitejtur berbangun persegi delapan (heksa gonal) di permukaan atas Candi Dadi, dengan titik sentrum lobang silindris
C. KONSERVASI DAN FUNGSIONALISASI TINGGALAN BUDAYA DI BUKIT WALIKUKUN
Sebagai situs yang berada di.tempat terpencil, maka konservasi dan preservasi terha-dap Candi Dadi belum optimal. Kondisi yang lebih memprihatibkan menimpak situs-situs lain di sekitarnya, seperti Candi Bhuto, Urung, Gemali, Bubrah dan Naga maupun tinggalan arkeologis di Tumpak Lesung dan sekitar Sumber Omben serta di situs perbengkelan bakol-balok batu. Areal situs yang luas, berada di medan gunung yang tisldak mudah dijangkau dan terbatusnya jumpah jurupiara, menjadikan situs-situs tersebut kurang lestari. Rendahnya kon-servasi terhadap situs utama terjadi pada situs-situs yang telah tidak lagi difungsikan. Oleh karena itu, peningkatan pelestarian situs bisa dilakukan seiring dengan revitalisasi dan diver-sifikasi fungsi situs. Pada masa sekarang, Candi Dadi yang kendatipun berasal dari keemasan Masa Majapahit, namun terbuka kemunglinan untuk didayagunakan bagi beragam fungsi, an-tara lain fungsi rekreatif, edukatif dan religis.
Dalam fungsi religis, Candi Dadi fan situs-situs lain di sekitarnya dapat didayagunakan bagi tujuan peziarahan (pilgryme). Wisata ziarah dan ritus di kawasan religis purba di Walikukun tidak hanya sebatas dilakukan oleh umat Hindu, namun terbuka pula untuk umat Buddha. Jejak religis sekitar Candi Dadi ada yang berlatar religi Hindu sebagaimana terbukti oleh adanya Yoni di situs Candi Naga, namun juga ada indikator Buddhis yang terbukti oleh temuan fragmen arca Dyanibuddha. Sementara pada sejumlah situs, seperti Goa Tritis, Banyu Urip dan Pasir, jejak historis-arkeologis yang ada lebih mengarah ke Agama Rsi. Demikianlah, pada masa lalu kawasan perbukitan Walikukun dan sekitarnya menjadi ajang religis dari beberapa agama sekaligus, yakni Hindu-Saiwa, Mahayana Buddhisme dan Agama Rsi. Nuansa kebhinekaan tergambar dan mengakar di sini. Untuk kepentingan keki-nian dan mendatang, tinggalan budaya masa lampau beserta paleo-ekologis di sekitarnya bisa dijadikan sebagai obyek dan destinasi wisata budaya, wisata religi, sekaligus wisata edukasi. Pemfungsiannya pada satu sisi diharapkan dibarengi dengan upaya pelestarian pada sisi lain.
Semoga tulisan ringkas ini memberikan faedah kepada khalayak. Salam budaya bhumiputra, "Nuswantara-jayati". Nuwun ..
BACA JUGA : Sejarah - sejarah Menarik Lainnya
CANDI DADI : Mahavedi Yang Memahkotai Puncak Tertinggi Walikukun
Reviewed by Timexpose
on
Juni 05, 2017
Rating: