Keramat Saron Seliring BUYUT TELU

Sangkawi.com - Tersebutlah pada Jaman Belanda, ada sepasang seniman tradisional suami istri, yang bernama Buyut Telu dan Nyai Wila. Pada suatu hari beliau, Buyut Telu lagi membuat perangkat gamelan yaitu Saron, salah satu alat musik tradisional untuk kebutuhan melengkapi iringan keseniannya.

Tidak seperti biasanya, kali ini buyut telu dalam menempa untuk melaras besi bakal saron terdapat satu wilahan yang selalu sliring ( tidak bisa selaras dengan nada pada yang seharusnya). Berulang Ia tempa untuk menaik dan menurunkan hasil nada tetap saja selalu tidak sesuai seperti lainnya.

Seperti biasanya, pada saat mengerjakan laras, Nyi Wila istrinya setia menemani di sebelahnya. Selain hanya menunggui sembari menjahit atau menyambi pekerjaan wanita lainnya, pun juga menjadi penentu nada dengan suara jinemannya. Karena Beliau Nyi Wila memanglah seorang pesinden yang memiliki suara yang elok dengan tembang-tembang jawannya pada saat itu.

Saking fokusnya Buyut Telu melaras saron barunya yang belum juga sempurna nada dari salah satu wilahannya. Hingga Buyut Telu tidak menyadari kalau Nyi Wila istri setia yang disampingnya sebenarnya telah meninggal. Buyut Telu menganggap istrinya menungguhu sambil istirahat berebah di kursi bambu yang ada disampingnya.
Baru setelah Ia memanggilnya untuk melantunkan Jineman, berulang permintaanya tidak ditanggapi seperti biasanya, membuat Buyut Telu menoleh dan menepuk kaki Istrinya. Akan tetapi tetap saja tidak menjawab dan singkat kata diketahui ternyata istri tercintanya meninggal.

Setelah tuju hari kematian Nyi Wila. Buyut Telu melanjutkan aktivitas kerjanya untuk melanjutkan melaras saronnya yang belum sempurna walaupun kini tidak lagi ditemani Istrinya. Hampir setengah hari menempa, satu wilahan saronnya tidak juga sesuai nada yang diinginkan. Yang akhirnya membuat Buyut Telu mengeluh dan memutuskan untuk tidak melanjutkan. " Mungkin besi ini memang besi sliring yang tidak dapat dilaras seperti lainnya. " Gumannya.
Sore harinnya Buyut Telu hendak nyekar ke makam istri tercintanya. Entah kenapa timbul keinginan untuk membawa saron tadi kemakam. Dengan tujuan dari pada terbengkalai tak dipakai dan juga terdapat kenangan bersamanya. Maka ia tanam saron tersebut di sisih batu nisan sang istri untuk menjadi tanda kenang dan kesetiaannya.

Berpuluh tahun kemudian. Cucu Buyut Telu, juga mewarisi jiwa seninya. Ia juga pandai mengrawit, juga sedikit bisa membuat gamelan tradisional. Pada suatu ketika saat kemakam Mbah Putri dan Mbah Kakungnya, Ia menemukan wilahan saron saat membersihkan makam tepat disisih batu nisan. Ia ingat cerita dari Almarhum Kaleknya yang pernah bercerita saat masih kecil, dan dibawalah pulang, karena penasaran dengan cerita tidak dapatnya bakal saron tersebut dilaras.

Sesampai dirumah, Ia langsung menempa salah satu besi saron yang memang sliring tersebut. Tetapi benar, berulang Ia coba tetap aja sliring yang akhirnya iapun mau tidak mau mengakuinya.

Keesokan harinnya ada satu pelanggan hasil kerajinan gamelanya datang. Dan ingin membeli saron untuk pementasan malam hari itu. Mengingat hasil kerajinannya saat ini kosong jadi dijawabnya belum ada. Pelanggan minta tolong dengan sangat untuk bisa dibuatkan sesegera, karena saronnya hilang sedang jop pementasan malam ini.

Cucu Buyut Telu teringat akan saron sliring dan ia tawarkan. " Ada saron, tapi satu wilahannya agak sliring dan tidak bisa dibenahi, hari kan sudah sore. Jadi kalau untuk membuat saron baru tidak mungkin saya selesaikan dua jam" ungkapnya menawarkan saron sliring apa adanya.

Pelangganya menjawab oke, sebab selain terpaksa memang mau tidak mau harus tetap mentas malam ini.

Singkat cerita, biarpun saron ini sliring. Tidak begitu kentara ketika di tabuh bersama alat musik gamelan kainnya. Juga, penonton tidak seperti penampilan-penampilan sebelumnya. Dalam pementasan malam itu sangat ramai, hingga banyak mendapatkan saweran.

Uniknya, saron tersebut sering sekali berbunyi sendiri pada malam-malam tertentu. Seperti di ketuk-ketuk dengan jari tangan. Dal hal ini tidak jarang. Sehingga membuat saron tersebut tidak dipakai sembarangan karena khawatir terdapat hal-hal yang tidak diketahui dan diinginkan.

Sampai pada keseniannya sudah bubar, saron itu masih tetap berada digudang yang terkadang masih tetap mengeluarkan bunyi dengan sendirinya.

Pada saat Sangkawi.com bersama Tim Woke2 Pemburu Misteri dan Penelusuran mitos bertandang ke pemilik (28/2). Membuktikan kebenaran keganjilan tersebut. Seakan suatu misteri yang tidak takut akan keberadaan orang yang ada disekitarnya. Saron Sliring warisan Buyut Telu itu mengeluarkan bunyi seperti diketuk-ketuk jari makhluk kasatmata cukup lama bersama kami saksikan.

Atas keberkenaan pemilik, sekarang saron tersebut berada di Galeri Lapak Wingit, milik Ki Ageng Sruput, Sesepuh Tim Espedisi Misteri dan Penelusuran Mitos ( Tim Woke2), juga Ketua Komunitas Pecinta Seni, Sejarah dan Budaya Tadisional " Mandala Kawi" atau yang lebih dikenal dengan KOMPI 65391, beralamat di Jalan Raya Krajan, Gang Musholah RT 04, Desa Pujon Kidul Kecamatan Pujon, Malang Barat.

Saron tersebut tersimpan rapi bersama koleksi-koleksi benda-benda unik, antik, tuah hasil perburuan solidaritas rekan-rekan sehobinya.(mj)








Keramat Saron Seliring BUYUT TELU Keramat Saron Seliring BUYUT TELU Reviewed by Timexpose on Januari 28, 2019 Rating: 5