Apakah Kita Ridho Terhadap Perselisihan dan Perpecahan
Sangkawi.com - Apakah Kita Ridho Terhadap Perselisihan dan Perpecahan? Bukankah tidak Boleh Ridha terhadap Perselisihan dan perpecahan. Kenapa..?
Telah kita ketahui bahwa perselisihan dan perpecahan merupakan perkara kauni, yang Allah Subhanahu wa ta’ala kehendaki dengan iradah kauniyyah-Nya. Akan tetapi tidak boleh dipahami di sini bahwa kita harus menerima perselisihan dan membiarkan adanya perpecahan dengan alasan “Perkaranya adalah sunnatullah, bukankah Allah Subhanahu wa ta’ala sendiri menghendakinya?!”
Terkadang tidak jarang kita mendengar ungkapan-ungkapan seperti itu, dimana suatu perkara dipandang sunatulloh dan kehendak Alloh yang serta merta kita harus menutup telinga dan membiarkan 'terjadilah'. Kita lupa bahwa disisih lain masih banyak terdapat hikmah, yang mana memberikan manfaat bagi kedewasaan kita sebagai hamba agar senantiasa tanggap. Yang mana sunatulloh dan yang mana i'tibar, ujian dan lain-lain.
Orang yang beranggapan seperti itu sungguh tampak kejahilannya. Ia tidak dapat membedakan antara kehendak kauni dan kehendak syar’i yang mesti terjadi. Di antara ketentuan tersebut, Allah Subhanahu wa ta’ala menetapkan dan menciptakan kejelekan dan perpecahan, namun bukanlah untuk kita kerjakan dan kita laksanakan.
Allah Subhanahu wa ta’ala jelas tidak meridhainya, sebagaimana banyak diterangkan dalam nash, apa yang Allah Subhanahu wa ta’ala anjurkan dan perintahkan hamba-Nya adalah untuk mengerjakan, ajaran berbuat kebaikan, juga untuk bersatu dan tidak berpecah sebagaimana yang diinginkan dengan kehendak dan ketetapan Allah Subhanahu wa ta’ala yang syar’i.
Abu Muhammad bin Hazm telah menyatakan, Allah Subhanahu wa ta’ala menghendaki perselisihan ini dengan kehendak-Nya yang kauni (iradah kauniyyah) sebagaimana Dia menghendaki adanya kekafiran dan seluruh maksiat. (Ihkamul Ahkam, 5/65)
Allah Subhanahu wa ta’ala tidak ridha dengan perselisihan sehingga Dia jauhkan sifat ini dari Rasul-Nya dan sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ الَّذِيْنَ فَرَّقُوا دِيْنَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka terpecah menjadi beberapa golongan, engkau sedikitpun tidak termasuk dalam golongan mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah diserahkan kepada Allah, kemudian (di akhirat, pen.) Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka perbuat (ketika di dunia, pen.).” (Al-An’am: 159)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Ayat ini merupakan pernyataan bara`ah (berlepas diri) dari orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan berhimpun di dalam golongan-golongan (yang membinasakan). Sementara yang diinginkan dari mereka agar agama itu satu dan manusia menjadi satu jamaah di atas agama ini. Inilah yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala . Oleh karena itu siapa yang keadaannya demikian (bersatu di atas agama, pen.) maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalamberloyalitas kepadanya dan dia adalah kekasih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam . Adapun orang yang memecah-belah agamanya dan dia tetap di atas perselisihan/pertikaian dan tetap berada di atas sifat jahiliyah4 maka Rasulullah berlepas diri darinya. (Syarhu Masa`ilil Jahiliyyah, hal. 41)
Allah Subhanahu wa ta’ala menetapkan adanya perselisihan dengan hikmah-Nya yang agung, hingga terpisahlah ahlul haq dari ahlul bathil, terpisahlah antara muttabi’ (orang yang mengikuti Sunnah Nabi, red.) dengan mubtadi’ (yang mengada-adakan bid’ah, red.). Dan tegaklah muttabi’ ini untuk berjihad menghadapi mubtadi’ dengan hujjah dan ilmu yang haq.
Semoga bermanfaat....
Sumber : Media Online
Telah kita ketahui bahwa perselisihan dan perpecahan merupakan perkara kauni, yang Allah Subhanahu wa ta’ala kehendaki dengan iradah kauniyyah-Nya. Akan tetapi tidak boleh dipahami di sini bahwa kita harus menerima perselisihan dan membiarkan adanya perpecahan dengan alasan “Perkaranya adalah sunnatullah, bukankah Allah Subhanahu wa ta’ala sendiri menghendakinya?!”
Terkadang tidak jarang kita mendengar ungkapan-ungkapan seperti itu, dimana suatu perkara dipandang sunatulloh dan kehendak Alloh yang serta merta kita harus menutup telinga dan membiarkan 'terjadilah'. Kita lupa bahwa disisih lain masih banyak terdapat hikmah, yang mana memberikan manfaat bagi kedewasaan kita sebagai hamba agar senantiasa tanggap. Yang mana sunatulloh dan yang mana i'tibar, ujian dan lain-lain.
Orang yang beranggapan seperti itu sungguh tampak kejahilannya. Ia tidak dapat membedakan antara kehendak kauni dan kehendak syar’i yang mesti terjadi. Di antara ketentuan tersebut, Allah Subhanahu wa ta’ala menetapkan dan menciptakan kejelekan dan perpecahan, namun bukanlah untuk kita kerjakan dan kita laksanakan.
Allah Subhanahu wa ta’ala jelas tidak meridhainya, sebagaimana banyak diterangkan dalam nash, apa yang Allah Subhanahu wa ta’ala anjurkan dan perintahkan hamba-Nya adalah untuk mengerjakan, ajaran berbuat kebaikan, juga untuk bersatu dan tidak berpecah sebagaimana yang diinginkan dengan kehendak dan ketetapan Allah Subhanahu wa ta’ala yang syar’i.
Abu Muhammad bin Hazm telah menyatakan, Allah Subhanahu wa ta’ala menghendaki perselisihan ini dengan kehendak-Nya yang kauni (iradah kauniyyah) sebagaimana Dia menghendaki adanya kekafiran dan seluruh maksiat. (Ihkamul Ahkam, 5/65)
Allah Subhanahu wa ta’ala tidak ridha dengan perselisihan sehingga Dia jauhkan sifat ini dari Rasul-Nya dan sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ الَّذِيْنَ فَرَّقُوا دِيْنَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka terpecah menjadi beberapa golongan, engkau sedikitpun tidak termasuk dalam golongan mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah diserahkan kepada Allah, kemudian (di akhirat, pen.) Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka perbuat (ketika di dunia, pen.).” (Al-An’am: 159)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Ayat ini merupakan pernyataan bara`ah (berlepas diri) dari orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan berhimpun di dalam golongan-golongan (yang membinasakan). Sementara yang diinginkan dari mereka agar agama itu satu dan manusia menjadi satu jamaah di atas agama ini. Inilah yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala . Oleh karena itu siapa yang keadaannya demikian (bersatu di atas agama, pen.) maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalamberloyalitas kepadanya dan dia adalah kekasih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam . Adapun orang yang memecah-belah agamanya dan dia tetap di atas perselisihan/pertikaian dan tetap berada di atas sifat jahiliyah4 maka Rasulullah berlepas diri darinya. (Syarhu Masa`ilil Jahiliyyah, hal. 41)
Allah Subhanahu wa ta’ala menetapkan adanya perselisihan dengan hikmah-Nya yang agung, hingga terpisahlah ahlul haq dari ahlul bathil, terpisahlah antara muttabi’ (orang yang mengikuti Sunnah Nabi, red.) dengan mubtadi’ (yang mengada-adakan bid’ah, red.). Dan tegaklah muttabi’ ini untuk berjihad menghadapi mubtadi’ dengan hujjah dan ilmu yang haq.
Semoga bermanfaat....
Sumber : Media Online
Apakah Kita Ridho Terhadap Perselisihan dan Perpecahan
Reviewed by Timexpose
on
Juni 04, 2017
Rating: