Pemilihan Ketua DPD: Drama Yang Menggusarkan Publik?


NEWS - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) kembali mendapat sorotan publik. Kali ini soal pengangkatan tiga pimpinan yang menuai pro-kontra karena menjalankan aturan masa jabatan 2,5 tahun. Padahal, tata tertib yang mencantumkan soal masa jabatan pimpinan DPD selama 2,5 tahun telah dibatalkan Mahkamah Agung (MA). Namun, hal itu tak diindahkan.



Drama pemilihan pimpinan itu diwarnai kericuhan yang berlangsung selama berjam-jam. Situasi seperti ini pernah pula terjadi, setidaknya pada periode lalu, yaitu 2014-2019. Rangkaian kericuhan serupa terjadi di saat penetapan tata tertib masa jabatan 2,5 tahun serta pemilihan Ketua DPD pasca-Irman Gusman.

Irman adalah mantan wakil ketua DPD yang tidak bisa menyelesaikan masa baktinya setelah ditangkap secara Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK, dan disangka terlibat kasus alokasi impor gula untuk Sumatra Barat.

DPD kerap menyuarakan penguatan lembaga. Namun, di lain waktu DPD disoroti publik karena ribut di internal.
Hal yang paling anyar adalah dengan diangkatnya Oesman Sapta Odang menjadi Ketua DPD. Padahal,  beberapa saat lalu, Anggota DPD asal Kalimantan Barat itu sudah menjabat Wakil Ketua MPR sekaligus Ketua Umum Partai Hanura.

Penunjukan Oesman Sapta juga menuai pro-kontra karena dianggap melangkahi putusan MA yang membatalkan masa jabatan pimpinan DPD 2,5 tahun.

DPD sering menjadi perhatian public –dalam konotasi miring, karena kisruh di dalam internal lembaganya. DPD dinilai tak paham kerja-kerja politik untuk rakyat. Para anggota DPD dianggap tak mengerti cara berpikir sebagai politisi.

"Mereka seolah ingin memperkuat DPD dengan mengubah legalitasnya, tapi di kepala mereka sendiri belum sepenuhnya mengerti kerja-kerja politik untuk kepentingan rakyat. Jadi problemnya lebih mendasar," kata Pengamat politik dari LIMA, Ray Rangkuti saat dihubungi, Senin (3/4/2017) malam, seperti dikutip dari Kompas.com.

Karena tak memahami kerja politik, akibatnya mereka kerap memperdebatkan persoalan namun tak mengerti solusi untuk mencari titik temunya.

Ray mencontohkan mengenai masa jabatan pimpinan DPD. Satu kelompok bersikeras ingin hanya 2,5 tahun, sedangkan kelompok lainnya teguh dengan 5 tahun. "Beda misalnya dengan kerja-kerja di DPR. Di DPR itu terbiasa berdebat keras, kencang, tapi mereka mengerti dimana berujung," tuturnya.

Menurut dia, perlu ada sosok yang dapat mengambil alih peran di DPD untuk mencari titik temu atas segala perbedaan pendapat. "Harus ada anggota DPD yang mengambil peran itu. Mereka tidak  biasa melakukan kerja politik. Akhirnya mentok, 2,5 tahun dan saklek," kata Ray.

Terlepas dari konflik internal DPD, Ray menilai, DPD perlu meminta maaf atas kekisruhan yang kerap terjadi.
"Mereka wajib meminta maaf kepada warga Indonesia sebab tidak ada alasan yang sangat substantif dan perjuangan yang sangat substantif yang mengakibatkan mereka harus saling berbenturan fisik. Enggak ada kepentingan publik, hanya kepentingan mereka," tuturnya.

Adapun kekisruhan di internal DPD juga terjadi pada rapat paripurna DPD, Senin lalu. Rapat yang berlangsung sekitar 12 jam hingga sebelum Subuh itu diwarnai sejumlah kericuhan yang bahkan sudah dimulai sebelum rapat paripurna dibuka.

Pada peristiwa itu sempat terjadi saling dorong, setika salah seorang anggota DPD mengambil alih podium, yang berujung pada dilaporkannya dua anggota DPD ke Polda Metro Jaya atas tuduhan pengeroyokan.(hdew)

《《《 baca sebelumnya                            baca selanjutnya 》》》

Pemilihan Ketua DPD: Drama Yang Menggusarkan Publik? Pemilihan Ketua DPD: Drama Yang Menggusarkan Publik? Reviewed by Timexpose on April 04, 2017 Rating: 5